Kawan, mari ku ceritakan sejenak cerita masa kanak di tanah timur.
Sore menjelang ashar, Kupang, terik siang tadi masih menyisakan panas nya. Pada waktu itu, masjid di komplek kami hanya satu dan cukup besar. Masjid Baiturrahman. Disini masjid jarang, karena muslim bukanlah mayoritas.
Seperti hari sebelumnya, setiap sore adalah mengaji. Jarak yang di tempuh cukup jauh dan jalanan mendaki. Malas rajin silih berganti bak jalanan ini.
Ragil nama teman saya, dengan gigi menghitam karena keseringan mengunyah permen, apalagi yang karet! Lucu saat tersenyum, orang nya ramah dan tipe setia kawan.
Sore itu kami bermalas datang ke masjid, sengaja untuk berjalan pelan. Sampailah kami di depan halaman masjid. Halaman ini cukup luas dengan di isikan rumput kering dan bisa untuk parkir 3-4 mobil.
Di halaman rumput kering itu kami main, sambil berpura sembunyi.
Ragil mulai mengeluarkan alumunium foil yang biasa ada di bungkus rokok. Kami ingin membuat roket! Dengan merogoh saku baju, saya mengeluarkan korek kayu. Korek kayu itu di buat saling bertemu kepala koreknya, dan di balut dengan kertas alumunium foil. Setelah itu, bakarlah bagian tengahnya dan jadilah, bum! Roket!
Naasnya! Roket itu mengenai rerumputan kering yang ada di sekitar dan mulau terbakar. Kami panik! Dengan bodohnya saya mengambil kardus yang terlantar di dekat kami dan mengipas api tersebut, api makin membesar!
“Ayo lang kita lari!” buru Ragil dengan aksen khas timur. Dengan pikiran masih syok karena mengetahui kita telah membakar lahan yang cukup luas, belum lagi kepikiran jadi kriminal karena bisa membakar rumah orang di sampingnya! Akhirnya kita lari ke arah tempat kami jalan tadi.
Kita memutar, melewati rumah Ragil dengan perasaan cemas. Mendekati masjid dari arah barat, harap-harap cemas melihat perbuatan kami tadi.
Ternyata api sudah padam dan semua lahan rumput kering itu habis! Di padamkan oleh warga sekitar. Duh. Jemariku bergetar saking takutnya. Keringat mengalir dan tidak bisa berkata-kata. “Apa yang akan saya katakan pada ibu nanti” batinku.
Kami masuk duduk di teras masjid, sambil menunggu ustadz datang. Terlihat jelas di seberang ada beberapa warga berkumpul sepertinya sedang berbincang terkait kebakaran itu. Masih was-was, ngaji pun tetap berjalan seperti biasa.
Saya pikir, dari sisi positifnya, lahan tersebut jadi lebih bersih. Dan hingga kini, lahan tersebut masih ada, walau sudah diubah dengan cor-cor-an. Cerita diatas ini ketika sekitar tahun 1995-1997 lupa tepatnya. Pastinya ketika SD, di SD Inpress Perumnas, Kupang, NTT